LAPORAN KULIAH KERJA LAPANGAN : FUNGSI DAN PERAN KETUA ADAT DALAM PELAKSANAAN PERKAWINAN DI DESA ADAT PANGLIPURAN KABUPATEN BANGLI


 

LAPORAN
FUNGSI DAN PERAN KETUA ADAT DALAM PELAKSANAAN PERKAWINAN DI DESA ADAT PANGLIPURAN KABUPATEN BANGLI


Disusun Oleh :
1.      Muhammad Chairudin            30301509152
2.      Sukma Guniriyanti                  30301509303
3.      Tafana Bella M                       30301509311
4.      Nada Restia A                                    30301509180
5.      Wuri Widyasti                         30301509337
6.      Yayuk Nur Hikmah                30301509339
7.      Yeni Amalia                            30301509340
8.      Sulis Ari Sasongko                  30301509304
9.      Shoviyanto                              30301509292
10.  Duwi Aryadi                           30301508993
11.  Lanoisan Kanaira W               30301509105

Dosen Pembimbing Lapangan :
Hj. Siti Ummu Adillah,S.H., M.Hum

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG
SEMARANG
2018/2019

HALAMAN PENGESAHAN


LAPORAN
FUNGSI DAN PERAN KETUA ADAT DALAM PELAKSANAAN PERKAWINAN DI DESA ADAT PANGLIPURAN KABUPATEN BANGLI
Disusun guna memenuhi tugas
Laporan Kuliah Kerja Lapangan
Ketua Kelompok


Duwi Aryadi
NIM.30301508993    
                                                .
Dosen Pembimbing


Hj.Siti Ummu Adillah, S.H., M.Hum
NIDN.06.0504.6702



KAPRODI S1 ILMU HUKUM



Kammi Hartono. S.H., M.Hum
NIDN.00.0810.6001






FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG
SEMARANG
2018/2019



ABSTRAK


FUNGSI DAN PERAN KETUA ADAT DALAM PELAKSANAAN PERKAWINAN DI DESA ADAT PANGLIPURAN KABUPATEN BANGLI
Indonesia merupakan negara yang kaya akan budaya, tradisi dan adat istiadatnya. Dan terdiri dari beragam agama, salah satunya agama Hindu yang merupakan agama mayoritas masyarakat di provinsi Bali sejak 700 tahun silam. Budaya dan agama Hindu sangat melekat di jiwa masyarakatnya khususnya masyarakat adat Desa Panglipuran Kab. Bangli yang masih mempertahankan budaya dan hukum adatnya hingga saat ini.
            Sesuai dengan UU No 6 Tahun 2014 tentang Peraturan Desa Adat yang disesuaikan dengan hukum adat dan norma yang berlaku di desa adat sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang undangan NKRI. Dalam pembuatan hukum adat atau yang disebut awig-awig dalam desa adat Panglipuran disahkan oleh ketua adat berdasarkan kesepakatan masyarakat. Ketua adat memiliki peran penting dalam melaksanakan dan memutus awig-awig yang salah satunya mengatur mengenai hubungan keperdataan seperti perkawinan, perceraian dan poligami serta pewarisan.
            Untuk membatasi pembahasan penulis hanya membahas peran dan fungsi ketua adat, cara pemilihannya, dan mengenai perkawinan dan poligami di Desa Adat Panglipuran. Peran dan fungsi Ketua adat desa Panglipuran yaitu mengatur dan menggerakkan masyarakat sesuai dengan awig-awig yang ada. Awig-awig mengatur masalah keperdataan dan tata hukum adat.
            Di dalam tata hukum adat, ketua adat atau yang prajuru memiliki kriteria tertentu dan dapat dipilih dengan cara voting. Aturan keperdataan mengenai perkawinan di Desa Adat Panglipuran memiliki ketentuan berbeda apabila perkawinan dilakukan antara masyarakat adat Panglipuran dengan masyarakat diluar desa Panglipuran. Apabila mempelai perempuan berasal dari luar desa Panglipuran maka mempelai perempuan harus masuk menjadi bagian desa adat Panglipuran. Apabila mempelai laki-laki yang berasal dari luar desa Panglipuran maka bisa masuk menjadi bagian dari desa Panglipuran dengan ketentuan dianggap wanita oleh warga lain. Adapun larangan mengenai poligami sebagai bentuk penghargaan terhadap wanita serta adanya sanksi bagi laki-laki yang berpoligami.

Kata kunci: ketua adat dan perkawinan.





KATA PENGANTAR


Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, kami sampaikan puji syukur kehadirat-NYA, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-NYA kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan Laporan Kuliah Kerja Lapangan (KKL) dengan judul Fungsi dan Peran Ketua Adat dalam Pelaksanaan Perkawinan di Desa Adat Panglipuran kabupaten Bangli.
Tidak lupa juga kami mengucapkan terimakasih kepada :
1.      Dekan Fakultas Hukum UNISSULA Prof. Gunarto.S.H., S.E., S.Akt., M.Hum yang telah mendukung dan memberikan izin pelaksanaan KKL sehingga seluruh angkatan 2015 bisa serentak berangkat bersama
2.      Bapak Kammi Hartono.S.H.,M.H dan Bapak Denny Suwondo selaku Ketua dan Sekertaris Program Studi S1 Ilmu Hukum yang telah menyelenggarakan Program Kuliah Kerja Lapangan
3.      Dosen Pembimbing Lapangan Ibu Hj.Siti Ummu Adillah.S.H., M.Hum yang telah menemani dan menjaga kami dengan sabar dari awal perjalanan hingga akhir perjalanan serta membimbing kami sehingga dapat terselesaikannya tugas laporan ini.
4.      Kedua orang tua dari setiap anggota yang jika tanpa ijin dari beliau, anggota kelompok ini tidak akan bisa lengkap
5.      Pak Hengky selaku staff administrasi yang telah menemani perjalanan KKL kami di Bali
6.      Seluruh Bapak dan Ibu Dosen Pembimbing Lapangan yang turut serta menemani perjalanan KKL di Bali dari tanggal 11-15 April
7.      Kepada bapak sopir bus 5 beserta crew yang bertugas yang sabar dan ramah sehingga kami nyaman di perjalanan
8.      Wakil Ketua II DPRD Provinsi Bali serta seluruh jajaran yang bertugas yang telah menerima rombongan KKL Fakultas Hukum UNISSULA dengan ramah dan menyenangkan
9.      Ketua Adat Desa Penglipuran Kabupaten Bangli dan seluruh masyarakat desa yang telah menerima kehadiran rombongan KKL Fakulas Hukum UNISSULA dengan baik
10.  Untuk almamamater tercinta Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung semoga laporan karya kelompok kami bisa bermanfaat
11.  Untuk teman-teman angkatan 2015 yang memberi kenangan indah selama perjalanan KKL berlangsung
Laporan ini telah kami susun dengan maksimal, dan harapan kami semoga laporan ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi pembaca. Oleh karena itu, kami menerima dengan senang hati dan meminta kritik dan saran yang bersifat membangun dari pembaca yang budiman. Sehingga untuk kedepannya dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi laporan KKL ini agar menjadi lebih baik lagi.
Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, kami yakin masih banyak kekurangan dalam makalah ini. Kami selaku kelompok 9.B memohon maaf karena ketidaksempurnaan dan masih banyak kekurangan dalam penyusunan laporan ini. Terimakasih
Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh


                                                                                                Semarang, 27 April 2018


                                                                                                                        Penyusun,

DAFTAR ISI






 

BAB I

PENDAHULUAN


I.1 Latar Belakang Masalah

            Bali tak hanya dikenal dengan keindahan alamnya saja, Namun juga wisata budayanya sangat kental akan nilai-nilai leluhur adat istiadatnya serta ciri khas lokal yang masih menjaga falsafah kehidupan adat yang harus dilestarikan. Salah satu contohnya desa adat Penglipuran Bali. Desa penglipuran adalah salah satu Desa Adat yang ada di Bali yang berlokasi  di kelurahan Kubu, Kecamatan Bangli, Kabupaten Bangli.Desa adat ini memiliki luas kurang lebih 112 hektar. Dengan jumlah penduduk yang tercatat ada 985  jiwa dalam 234 kepala keluarga yang tersebar pada 76 pekarangan yang kebanyakan berprofesi sebagai petani, pengrajin bambu, dan beternak.
 Nama Desa Penglipuran berasal dari kata pengeling dan pura yang artinya mengingat tempat suci para leluhur. Di Desa penglipuran ini semua tradisi dari leluhur masih dijaga dan wajib dilestarikan oleh seluruh lapisan masyarakat. Desa yang berada di ketinggian 700 meter diatas permukaan laut ini mempunyai keunikan tersendiri  salah satunya dari segi arsitektur bangunannya. Di setiap rumah mempunyai sebuah pintu gerbang disebut angkul angkul. Semua rumah di desa ini seragam tetapi tidak sama, bahkan hampir mirip.untuk ukuran rumahnya sama persis.
Di Dalam sebuah adat tentu ada aturan-aturan yang mengikat masyarakat nya meskipun  aturan tersebut tidak tertulis namun sangat dihormati dan dijunjung tinggi warga setempat. begitupun dengan desa adat penglipuran aturan oleh masyarakat penglipuran disebut awig-awig. Namun demikian meski memiliki keistimewaan untuk menciptakan peraturan adat atau awig-awig, awig-awig tidak boleh bertentangan dengan hukum positif Indonesia sesuai bunyi Pasal 110 UU No.6 tahun 2014 Peraturan  Desa  Adat  disesuaikan  dengan  hukum  adat dan  norma  adat  istiadat  yang  berlaku  di    Desa  Adat sepanjang  tidak  bertentangan  dengan  ketentuan peraturan perundang-undangan..Di Indonesia bab mengenai penataan desa adat termaktub dalam UU No.6 tahun 2014 tentang desa di Bab XII dari Pasal 96 sampai dengan 192. Berikut adalah syarat terbentuknya desa adat menurut UU No.6 tahun 2014 :
Pasal 96
Berbunyi Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah  Kabupaten/Kota  melakukan  penataan  kesatuan masyarakat  hukum  adat  dan  ditetapkan  menjadi  Desa Adat.
Pasal 97
1.      Penetapan Desa Adat  sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 memenuhi syarat:
a)      kesatuan  masyarakat  hukum  adat  beserta  hak tradisionalnya  secara  nyata  masih  hidup,  baik yang bersifat  teritorial,  genealogis, maupun  yang bersifat fungsional;
b)      kesatuan  masyarakat  hukum  adat  beserta  hak tradisionalnya  dipandang  sesuai  dengan perkembangan masyarakat; dan
c)      kesatuan  masyarakat  hukum  adat  beserta  hak tradisionalnya  sesuai  dengan  prinsip  Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2.      Kesatuan  masyarakat  hukum  adat  beserta  hak tradisionalnya  yang  masih  hidup  sebagaimana dimaksud  pada  ayat  (1)  huruf  a  harus  memiliki wilayah  dan  paling  kurang  memenuhi  salah  satu atau gabungan unsur adanya:
a)      masyarakat  yang  warganya  memiliki  perasaan bersama dalam kelompok;
b)      pranata pemerintahan adat;
c)      harta kekayaan dan/atau benda adat; dan/atau
d)     perangkat norma hukum adat.
3.      Kesatuan  masyarakat  hukum  adat  beserta  hak tradisionalnya  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1) huruf  b  dipandang  sesuai  dengan  perkembangan masyarakat apabila:
a)      keberadaannya telah diakui berdasarkan undang-undang yang berlaku sebagai  pencerminan perkembangan  nilai  yang  dianggap  ideal  dalam masyarakat  dewasa  ini,  baik  undang-undang yang bersifat umum maupun bersifat sektoral; dan
b)      substansi  hak  tradisional  tersebut  diakui  dan dihormati oleh warga kesatuan masyarakat  yang bersangkutan dan masyarakat yang lebih luas serta tidak bertentangan dengan hak  asasi manusia.
4.      Suatu kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sebagaimana dimaksud  pada ayat (1) huruf c sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, apabila  kesatuan  masyarakat hukum adat tersebut tidak mengganggu keberadaan Negara Kesatuan Republik  lndonesia sebagai sebuah kesatuan politik dan kesatuan hukum yang:
a)      tidak mengancam kedaulatan dan integritas Negara Kesatuan Republik lndonesia; dan
b)      substansi  norma  hukum  adatnya  sesuai  dan tidak  bertentangan  dengan  ketentuan  peraturan perundang-undangan.
Ketua adat pada desa penglipuran adalah orang yang dipilih dan dipercaya oleh masyarakat adat untuk memimpin desa tersebut. Ketua adat atau bandesa dipilih melalui proses dan syarat-syarat tertentu. Selanjutnya ketua adat ini memiliki peran, fungsi dan tugas yang sudah ditentukan. Dalam masyarakat Hindu banyak sekali bentuk ibadah, ritual dan hari-hari penting dimana setiap hal tersebut harus dilakukan dengan upacara, dalam hal ini lah bandesa atau ketua adat memimpin seluruh proses upacara tersebut. Salah satu upacara yang dilakukan adalah mengenai upacara perkawinan. Terutama di desa adat penglipuran ada peraturan mengenai perkawinan yang lebih dari satu isteri atau poligami. Meskipun ada yang boleh melakukan poligami namun akan mendapatkan sanksi dari masyarakat desa adat setempat. yang menjadikan hal tersebut unik adalah bagaimana perlakuan masyarakat adat terhadap pelakunya.
Hal ini menarik untuk dikaji lebih lanjut dalam perspektif hukum khususnya peraturan mengenai hukum adat serta peran, fungsi dan tugas ketua adat atau bandesa terkait dalam pelaksanaan peraturan hukumnya. Mengingat desa adat adalah desa yang diberi keistimewaan untuk membentuk hukumnya sendiri sesuai dengan UU No.6 tahun 2014 tentang Desa. Hal ini sangat jelas terpatri  dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi “ Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang” Lebih lanjut lagi kewenangan seorang ketua adat yang juga menarik untuk dikaji .

I.2 Rumusan Masalah

1.      Apa fungsi dan peran ketua adat di desa Panglipuran berkaitan d?
2.      Bagaimana pengangkatan dan mekanisme serta syarat-syarat untuk menjadi ketua adat di desa penglipuran?
3.      Bagaimana pelaksanaan perkawinan di desa Panglipuran?
4.      Bagaimana pelaksanaan pernikahan jika orang luar desa panglipuran menikah sama penduduk asli dari desa panglipuran?
5.      Bagaimana  sistem pernikahan poligami dan akibat hukum nya ?

I.3 Tujuan Penulisan

1.      Mengidentifikasi aplikasi dan implementasi peraturan hukum adat oleh Ketua adat atau Bandesa  terkait dengan perkawinan
2.      Menganalisa hasil dari pengumpulan data yang telah diperoleh di desa adat Penglipuran sehingga dapat dimanfaatkan dan digunakan sebagai sumber referensi mengenai perkawinan adat
3.      Mengetahui secara langsung pemaparan dari ketua adat desa penglipuran mengenai perkawinan poligami
4.      Mengetahui sistem pernikahan antara warga desa adat Penglipuran asli dengan warga dari luar desa adat Penglipuran
5.      Mengetahui sistematika pengangkatan Ketua adat  serta tugas dan wewenang nya dalam mengatur masyarakat adat penglipuran dengan syarat-syarat yang ditentukan oleh warga adat

I.4 Manfaat Penulisan

1.      Menambah wawasan dan kemampuan berpikir mengenai pengalaman praktek dan mendengarkan langsung penjelasan dari ketua adat mengenai Sistem perkawinan adat serta kedudukan dan wewenang ketua adat  yang telah didapat dari Kuliah Kerja Lapangan di Desa Penglipuran Kabupaten Bangli .
2.      Hasil penelitian dapat digunakan untuk mengidentifikasi sistem hukum adat terutama dalam hal pelaksanaan perkawinan  ataupun perceraian
3.      Hasil penelitian dapat dijadikan sebagai sarana untuk mengetahui akibat hukum  dari perkawinan poligami di desa adat penglipuran
4.      Memiliki kemampuan menerapkan hukum yang sesuai dengan aturan-aturan yang dapat diterima oleh masyarakat umum serta tidak bertentangan dengan peraturan hukum positif di dalam pelaksanaan Kuliah Kerja Lapangan di desa adat penglipuran
5.      Memperoleh banyak pengetahuan dan wawasan praktek langsung hukum yang ada di masyarakat dari  pelaksanaan KKL terutama pelaksanaan hukum  yang hidup dan berlaku didesa adat penglipuran.




BAB II

PEMBAHASAN


II.1 Fungsi dan peran ketua adat di desa Panglipuran

Di dalam desa adat Panglipuran ini untuk pemimpin adat tidak dikenal dengan sebutan Kepala Desa melainkan Ketua Adat atau tetua adat. Jika menggunakan istilah sebutan Kepala Desa maka gaya kepemimpinannya akan beda, jika kepala lebih otoriter dalam menjalankan roda pemerintahan, akan tetapi jika Ketua Adat dalam menjalankan tugas dan fungsinya mengikuti kehendak dari warga desanya yang dituangkan dalam aturan - aturan desa atau masyarakat setempat menyebutnya dengan istilah awig – awig. Secara garis besar awig – awig  mengatur hubungan anggota masyarakat adat dalam keyakinannya terhadap tuhan yang maha esa Sanghyang widhi wasa, hubungan antar sesama anggota masyarakat adat dan hubungan anggota masyarakat dengan wilayah dan lingkungannya.
Di desa adat tidak ada yang namanya keputusan ketua adat atau peraturan ketua adat, karena ketua adat tidak mempunyai kewenangan untuk membuat suatu aturan. ketua adat merupakan suatu jabatan sosial bukan suatu jabatan politik yang utuh artinya tidak ada suatu kepentingan yang memaksakan kehendak dalam membuat suatu aturan. Di desa adat penglipuran yang mempunyai kewenangan membuat aturan adat adalah warga. Sedangkan  Pemimpin adat tugasnya melakukan pengabdian, melaksanakan atau menerapkan peraturan yang telah di buat dan disepakati dari hasil rapat masyarakat adat setempat.
            Secara umum jabatan jabatan dalam Prajuru Desa Adat adalah sebagai  berikut  :
1.      Bendesa Adat atau Kelian Adat sebagai ketua desa adat.
2.      Petajuk Bendesa sebagai wakilnya.
3.      Penyarikan sebagai juru tulis.
4.      Sinoman atau Kesinoman sebagai juru arah.
5.      Jero mangku, mangku desa atau jero gede untuk jabatan Pimpinan pelaksana upacara di Pura Kahyangan Desa.
6.      Pekaseh atau Kelian Subak untuk jabatan yang mengurusi pengairan subak

Desa adat penglipuran memiliki peraturan adat yang berlaku di wilayah adat setempat. Sepanjang itu sudah menjadi keinginan masyarakat adat, tidak boleh ada orang yang intervensi. Jadi warga adat bebas dari intervensi pemerintah lurah, camat sekalipun bupati. Jadi dengan demikian, desa adat ini untuk mencapai keinginannya memiliki aturan-aturan adat yang disebut dengan awig-awig. Karena syarat berdirinya desa adat yang pertama ada unsur tuah, ada catur muka desa yang harus dilengkapi dan dipenuhi, yaitu empat unsur yang harus di penuhi :
1.      Unsur Tuah yaitu perlindungan dari Tuhan Yang Maha Esa, kepercayaan, keyakinan
2.      Unsur Datuh, Datuh adalah ratu atau pemimpin yakni desa adat memiliki pemimpin
3.      Memiliki wilayah, namanya pari mandala yakni ada wilayah kerjanya
4.      Memiliki kraman atau memiliki penduduk
5.      Memiliki aturan adat yang disebut dengan awig-awig
Unsur nomor satu sampai dengan empat adalah harus dan ditambah dengan awig-awig. Jadi ada tuah atau memiliki keyakinan akan perlindungan dari Tuhan. Kemudian pari mandala atau wilayah kerja dan datuh atau pemimpin dan kraman ( masyarakat adat). Jangan sampai ada raja tidak punya wilayah kerja, tidak punya penduduk, jadi empat unsur itu harus. Untuk melakukan tugasnya, awig-awig atau aturan adat ini dijiwai oleh falsafah Tri Hita Karana, jadi pandangan hidupnya orang adat, falsafahnya orang adat, misinya orang adat itu adalah Tri Hita Karana. Tri Hita Karana memiliki makna Tri berarti tiga itu lalu ada harmoni, damai, bahagia, seimbang, sejahtera yang merupakan makna dari Hita serta Karana itu sendiri memiliki arti sumber penyebabnya. Jadi Tri Hita Karana adalah tiga sumber yang menyebabkan kita bahagia, damai, sejahtera, dan harmonis di dunia ini yang ingin dicapai, dilaksanakan oleh orang adat.
Lalu untuk mencapai Hita itu sendiri selanjutnya aturan adat akan dibagi menjadi tiga bage atau tiga bagian atau tiga bab. Bab pertama akan membahas bagaimana hubungan harmonis manusia dengan tuhan yang disebut dengan falsafah Parahyangan. Karena sebutan Tuhan orang Hindu adalah Sang Hyang Widhi yaitu falsafah berketuhan yang merupakan syarat pertama desa adat. Dalam hal ini desa adat Penglipuran adalah msayrakat yang beragama Hindhu. Parahyangan disini artinya untuk mencapai suasana damai desa adat memiliki tugas pembentukan manusia yang bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Maka dalam pertemuan dengan yang bukan pemeluk yang sama menyampaikan salam dengan berbagai sebutan karena makna dari salam maupun doa adalah supaya kita selalu dilindungi oleh Tuhan Yang Maha Esa dengan berbagai macam bahasa atau agamanya masing-masing seperti aum swastiyastu itu bermakna bahwa semoga kita mendapat perlindungan dari Tuhan Yang Maha Esa. Dalam Hal ini Aum adalah aksara suci nya Hindhu yang merupakan simbolis dari Sang Hyang Widhi atau Tuhan Yang Maha Esa. Jadi untuk kita, bukan berdoa untuk diri sendiri meskipun mengucapkan doa nya menggunakan adat Bali. Tidak ada doa yang mendoakan dirinya sendiri, doa itu berdimensi untuk kita semua. Maka itulah sebuah upaya untuk mengharmoniskan diri walaupun berbeda-beda agama, menghargai salam dan agama orang-orang lain. Dengan demikian dalam unsur Parahyangan akan dijabarkan agamanya, tempat ibadah, kemudian hari-hari suci dan lain sebagainya
 Orang Hindhu merupakan masyarakat yang percaya dengan adanya satu Tuhan (Monotheisme). Mungkin bagi sebagian orang tidak paham dan mengetahui apa makna dari yang orang Hindhu laksanakan sehingga banyak yang berpikiran penganut agama Hindhu adalah penganut Polytheisme terlebih lagi Bali dijuluki sebagai Pulau Dewata. Hindhu memiliki banyak sekte atau aliran yang meyebabkan masing-masing aliran atau sekte tersebut menyebut dewa yang berbeda. Sebutan Sang Hyang Widhi berbeda setiap sekte contohnya dalam sekte Brahma dia menyebut dengan Dewa Brahma jadi sebutan Tuhan nya adalah Dewa Brahma, sekte Waisynawa dengan Dewa Wisnu dan lain sebagainya. Tetapi dewa tidak sama dengan Sang Hyang Widhi atau Tuhan.
Dewa berasal dari bahasa sansekerta deep yang artinya sinar suci, dewa yakni sinar suci nya Tuhan. Hal ini dapat dibuktikan bahwa memang sekte di Hindhu banyak tetapi tetap percaya dengan adanya satu Tuhan yaitu Sang Hyang Widhi itu sendiri. Dalam kitab suci sutasoma karangan Mpu Tantular di abad 12 sudah ada, sudah diciptakan buku itu disana disebutkan untuk menyatukan sehingga Hindhu bisa terhindar dari konsep chauvinisme dan  sekterian. Disana disebutkan Bhineka Tunggal Ika Tanhana Dharma Mangru artinya berbeda-beda sebutan Tuhan tetapi tidak ada Tuhan yang kedua atau banyak. Dharma adalah kebenaran yaitu Tuhan itu sendiri, jadi menyebut Dewa, Wisnu, Siwa, Durga, dan lain-lainnya adalah manifestasi dari Bhineka Tunggal Ika Tanhana Dharma Mangru. Sehingga penganut Hindhu hidup rukun, damai kembali lagi ke makna Hita yang merupakan keharmonisan karena kita berbeda maka kita harmonis. Secara intern didalamnya masyarakat yang sekte-sekte nya berbeda saling akur, tidak saling gusur, tidak saling hilangkan, tidak saling hina. Secara eksteren makna ini filosfinya pada jaman tersebut tidak mungkin hanya ada agama Hindhu saja.

II.2 Pengangkatan dan mekanisme serta syarat-syarat untuk menjadi ketua adat di desa penglipuran

            Di desa penglipuran terdapat dua system dalam pemerintahan yaitu menurut system pemerintah atau system formal yaitu terdiri  dari RT dan RW, dan system yang otonom atau desa  adat . Pimpinan tertinggi di desa penglipuran dipegang oleh seorang kepala adat yang diberi gelar  I Wayan Supat dan memiliki masa jabatan yang ditentukan .Terhadap tata cara pemilihan kepala adat di desa ini dilakukan dengan pemilihan dan cara pemilihan dilaksanakan secara voting (dijudi) didasarkan atas suara terbanyak. Sebelum dilakukan dengan cara voting masyarakat adat berhak untuk menunjuk siapapun yang menjadi ketua adat tanpa terkecuali. .Calon prajuru atau ketua adat diajukan oleh prajuru adat terdahulu dan prajuru hulu apad, kemudian calon ini dipilih oleh krama adat pengarep yang berjumlah 76 KK. Prajuru tersebut dipilih dari dan oleh krama desa adat dalam suatu rapat (sangkepan). Masa jabatan dari prajuru di Desa Adat Penglipuran adalah lima tahun setelah itu dapat dipilih kembali.

Adapun syarat-syarat agar dapat menduduki suatu jabatan prajuru di Desa adat Penglipuran adalah.
1.      Bertaqwa kepada tuhan YME
2.      Berkelakuan baik.
3.      Mempunyai kemampuan dalam melaksanakan tugas-tugas secara umum
4.      Memiliki pengetahuan tentang agama dan adat istiadat setempat.
5.      Dapat hidup bermasyarakat.

II.3 Pelaksanaan perkawinan di desa Panglipuran

            Dewasa ini di Indonesia telah dibentuk hukum perkawinan yang berlaku bagi seluruh rakyat Indonesia yakni Undang-Undang No 1 tahun 1974.  Menurut pasal 2 ayat (1) perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing – masing agamanya dan kepercayaanya itu. Yang dimaksud hukum masing – masing agamanya dan kepercayaanya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam undang- undang ini (UU No 1 tahun 1974). Dan disamping itu tiap – tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.   
Begitupun dengan pelaksanaan perkawinan yang ada di desa penglipuran kabupaten Bangli. Hanya saja yang membedakan dalam pelaksanaan perkawinan di desa adat penglipuran ini tradisi leluhur nya sangat kental dan wajib dilaksanakan dengan upacara sesuai dengan tradisi adat yang telah dibuat dan di sepakati Bersama serta mewajibkan untuk menghadirkan kepala adat dalam prosesi perkawinan nya.

II.4 Sistem pernikahan jika orang luar desa panglipuran menikah sama penduduk asli dari desa panglipuran

Penduduk desa penglipuran menganut system patrilineal, yakni sebuah keturunan berdasarkan garis keturunan dari kaum laki-laki. Masyarakat  Penglipuran  pantang untuk menikahi tetangga disebelahkanan dan sebelah kiri juga sebelah depan dari rumahnya. Karena tetangga-tetangganya tersebut sudah dianggap sebagai keluarga sendiri.. Bagi warga yang ingin menikah dengan orang di luar Penglipuran bisa saja. Dengan ketentuan bila mempelai laki-laki dari Penglipuran maka mempelai perempuan yang dari daerah lain harus masuk menjadi bagian dari adat Penglipuran. Yang menarik adalah jika mempelai perempuan dari desa penglipuran dan laki-lakinya dari adat yang lain, maka bisa saja laki-laki tersebut masuk ke dalam adat Penglipuran dan hidup di desa Penglipuran tetapi dengan konsekuensi laki-laki tersebut dianggap wanita oleh warga lainnya. Maksudnya tugas-tugas adat yang dialaksanakan adalah tugas untuk para wanita bukan tugas para lelaki.
Dan apabila ada pendatang yang dari luar ingin menikah dengan orang dari dalam Desa Panglipuran , dia harus masuk dan mengikuti ajaran agama Hindu sesuai agama resmi yang ada di Desa Panglipuran .Jika orang luar tersebut berjenis kelamin wanita , maka ia harus ikut tinggal suaminya di lingkungan Desa Panglipuran.

II.5 Sistem pernikahan poligami  di desa panglipuran

            Di desa adat penglipuran ada suatu adat yang berlaku soal perkawinan yakni pelarangan poligami terhadap penduduknya. Adat melarang hal tersebut demi menjaga para wanita. Sehingga Laki-laki Desa Penglipuran, Bangli dididik untuk setia kepada satu pasangan saja. Di sini ada awig-awig (aturan adat) yang melarang para lelakinya untuk berpoligami atau beristri lebih dari satu. Jika ada yang melanggar, lelaki tersebut akan  di beri sanksi dan dikucilkan di sebuah tempat yang dikenal dengan nama Karang Memadu (lahan tempat orang memadu atau beristri lebih dari satu). Dan dilarang melakukan perjalanan dari selatan ke utara karena wilayah utara bagi orang penglipuran adalah wilayah yang paling suci. Masyarakat penglipuran juga pantang untuk menikahi tetangganya disebelah kanan dan sebelah kiri juga sebelah depan dari rumahnya. pantangan bagi kaum lelaki untuk beristri lebih dari satu atau berpoligami. Lelaki Penglipuran diharuskan menerapkan hidup monogami yakni hanya memiliki seorang istri.
Di  desa Penglipuran tidak boleh memiliki istri lebih dari satu merupakan aturan adat yang sudah berlaku sekitar 700-an tahun. Karena umur desa sudah 700-an tahun. Orang penglipuran sudah memberikan proteksi kepada kaum wanita agar tidak dimadu. Aturan ini disediakan fasilitas. Ada sebuah pekarangan namanya Karang Memadu, yaitu tempat lokalisir yang gunanya untuk  meenempatkan orang yang berpoligami. Yang mana akan dihukum dengan istri mudanya. Lokasinya disebelah geger Barat desa. Walaupun disediakan fasilitas namun sampai saat ini belum ada yang mau menempati pekarangan tersebut karena sanksinya yang berat. Dan kesakralan perkawinannya tidak akan disahkan di desa ini, secara adat perkawinan itu tidak akan diproses. 
Bentuk perkawinan sercara umum ada 2:
1.      Perkawinan biasa, istri ikut suami
2.      Perkawinan yang tidak biasa, suami ikut istri
3.      Perkawinaan padegelahan artinya sama-sama memiliki


Jenis-jenis pernikahan di desa adat:
1.      Meminang atau dalam bahasa Balinya adalah Memadik
2.      Kawin lari atau lari bersama karena biasanya disebabkan oleh tidak adanya persetujuan dari beberapa pihak
3.      Perkawinan Mleugandaan atau pemerkosaan atau menculik, hal ini dilkukan pada zaman dulu, seperti yang dilakukan raja.

 Menurut Bendesa (ketua adat) Desa Pakraman Penglipuran, I Wayan Supat, pantangan berpoligami ini diatur dalam awig-awig desa adat. Dalam pawos pawiwahan (bab perkawinan) awig-awig itu disebutkan, krama Desa Adat Penglipuran tan kadadosang madue istri langkung ring asiki. Artinya, krama Desa Adat Penglipuran tidak diperbolehkan memiliki istri lebih dari satu. Jika ada yang berani melanggar awig-awig ini, imbuh Supat, orang tersebut akan dikucilkan di sebuah tempat yang diberi nama Karang Memadu. Karang artinya tempat, memadu artinya berpoligami. Jadi, Karang Memadu merupakan sebutan untuk tempat bagi orang yang berpoligami.

Karang Memadu merupakan sebidang lahan kosong di ujung selatan desa. Desa akan membuatkan si pelanggar itu sebuah gubuk sebagai tempat tinggal bersama istrinya. Dia hanya boleh melintasi jalan di selatan bale kulkul (bangunan tinggi tempat kentongan) desa dan dilarang melintasi jalan di sisi utara bale kulkul. Tak cuma itu, pernikahan orang yang ngemaduang (berpoligami) itu juga tidak akan dilegitimasi oleh desa, upacaranya tidak di-puput (diselesaikan) oleh Jero Kubayan yang merupakan pemimpin tertinggi di desa dalam pelaksanaan upacara adat dan agama. Implikasinya, orang tersebut juga dilarang untuk bersembahyang di pura-pura yang menjadi emongan (tanggung jawab) desa adat. Tetapi dipersilahkan untuk bersembahyang di tempatnya sendiri.

 Akibat begitu beratnya sanksi orang yang ngemaduang, hingga kini tak ada lelaki Penglipuran yang berani melanggarnya. Karenanya, Karang Memadu kosong tanpa penghuni. Hanya ditumbuhi semak-semak dan segelintir pohon pisang. Menurut keyakinan warga Penglipuran, tanah Karang Memadu itu berstatus leteh (kotor). Karenanya, orang yang tinggal di sana dianggap kotor. Juga tetanaman yang dihasilkan di atas tanah Karang Memadu dianggap tidak suci sehingga tak bisa dihaturkan sebagai bahan upakara (sesaji).

Namun, seperti diingat Jero Kubayan Mulih, dulu pernah ada salah seorang lelaki Penglipuran yang nyaris ditempatkan di Karang Memadu karena memiliki istri lagi. Krama (warga) desa sudah membuatkan yang bersangkutan pondok di Karang Memadu. Akan tetapi, sanksi adat ini keburu membuat lelaki tersebut keder. Karenanya, dia segera menceraikan istri pertamanya dan memilih hidup bersama dengan istri kedua. Memang, sanksi adat bisa dihindari lelaki Penglipuran jika mau menceraikan salah satu istrinya. “Kebetulan lelaki itu kawin nyeburin (ikut dengan keluarga istri) ke sini. Dia berasal dari Cekeng. Setelah memutuskan memilih istri kedua dan menceraikan istri pertama, dia pulang ke Cekeng. Kebetulan juga istri pertama dan keduanya itu bersaudara,” cerita Supat.

Tiada jelas sejak kapan sejatinya larangan berpoligami bagi lelaki Penglipuran ini mulai dibuat. Namun, menurut Jero Kubayan Mulih, lahirnya pantangan berpoligami ini karena dulu kerapnya pemimpin desa ini mengurusi orang bertengkar dalam keluarga karena masalah adanya istri baru. Karena itulah, mekele (pemimpim desa) dulu membuat aturan yang melarang lelaki Penglipuran untuk ngemaduang. Tentu saja, aturan itu disepakati seluruh krama desa sehingga akhirnya bisa dilaksanakan hingga kini.
Desa Panglipuran memiliki aturan yang juga termuat dalam sistem adat dimana penduduk desa ini dilarang keras melakukan poligami. Hal ini merupakan bentuk penghargaan pada wanita dimana kaum wanita harusnya dijunjung dan dihargai bukan untuk dipermainkan dan harus dijaga kesuciannya. Dan apabila ada suatu keluarga yang melakukan poligami maka keluarga tersebut akan diasingkan. Perkawinan di Desa Panglipuran juga sangat fleksibel mereka membebaskan pendudukanya untuk mencari istri ataupun suami diluar desa adat. Dengan ketentuan dalam pernikahannya harus diselipkan upacara adat Desa Panglipuran dengan tujuan agar kedua mempelai dapat diterima di Desa Panglipuran serta dapat menginjak pura suci (Pura Penataran) yang berada di ujung desa sebagai daerah utama Desa Panglipuran.



BAB III

PENUTUP


III.1 Kesimpulan

Dari hasil laporan KKL dapat kami simpulkan bahwa :
            Desa penglipuran terdapat dua system dalam pemerintahan yaitu menurut system pemerintah atau system formal yaitu terdiri  dari RT dan RW, dan system yang otonom atau desa  adat . Pimpinan tertinggi di desa penglipuran dipegang oleh seorang kepala adat yang diberi gelar  I Wayan Supat dan memiliki masa jabatan yang telah ditentukan
1.      Di desa adat penglipuran memiliki aturan adat mengenai perkawinan yaitu melarang  para lelaki berpoligami atau memiliki istri lebih dari satu. Hal ini merupakan bentuk penghargaan pada wanita dimana wanita harusnya dijunjung dan dihargai bukan untuk di permainkan dan harus dijaga  kesuciannya. Adapun sanksi bagi orang/masyarakat desa penglipuran yang memiliki istri lebih dari satu atau berpoligami yaitu  karang memadu, yaitu tempat lokalisir yang gunanya untuk menempatkan orang yang berpoligami. Dimana di tempat lokalisir tersebut di beri fasilitas namun belum ada yang mau menempati pekarangan tersebut karena beratnya sanksi tersebut. Sanksi tersebut dilakukan bersama istri mudanya.
2.      Aturan adat mengenai perkawinan antara warga penglipuran dan desa adat lainya bisa dilakukan dengan ketentuan bila mempelai laki-laki dari penglipuran maka mempelai perempuan dari desa lain harus masuk menjadi bagian dari desa adat penglipuran. Apabila mempelai perempuan yang dari penglipuran mempelai laki-laki bisa masuk menjadi bagian dari desa penglipuran dengan ketentuan dianggap wanita oleh warga lain.

3.      Pemilihan prajuru atau ketua adat dilakukan dengan pemilihan atau voting (dijudi) dengan syarat:
I. Bertaqwa kepada tuhan YME
2. Berkelakuan baik.
3. mempunyai kemampuan dalam melaksanakan tugas-tugas secara umum
4.  Memiliki pengetahuan tentang agama dan adat istiadat setempat.
5.  Dapat hidup bermasyarakat.

III.2 Saran

            Dari hasil laporan KKL yang telah kami buat dan proses KKL yang telah kami laksanakan. Ada bebe rapa saran yang ingin kami sampaikan agar mendapatkan hasil yang baik yang diinginkan bersama, sebagai berikut :
1.      Kami berharap hukum adat yang ada didesa adat penglipuran tetap memegang teguh, menjaga budayanya atau adat istiadatnya, sebagai ciri khusus yang di miliki suatu daerah dan suatu bangsa . Menjaga nilai-nilai luhur yang hidup dan lahir di bumi Indonesia. Mahasiswa fakultas hukum juga harus memperhatikan hukum adat karena hukum adat merupakan hukum asli dari bangsa kita yang lahir hidup dan berkembang di masyarakat, sehingga hukum adat memiliki kemampuan menyesuaikan diri dan elastis. Kebiasaan atau adat merupakan cerminan dari kepribadian suatu bangsa dan penjelmaan dari jiwa bangsa. Oleh karena itu setiap bangsa memiliki adat dan kebiasaan sendiri-sendiri yang berbeda di setiap daerahnya. Dimana aturan-aturan yang berlaku dalam hukum adat, merupakan hukum yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat, Dan aturan-aturan di buat berdasarkan kesepakatan bersama. Hukum adat juga merupakan latar belakang histori dari kelahiran hukum itu sendiri. Kita sebagai mahasiswa fakultas hukum yang nantinya sebagai penegak hukum wajib terjun langsung kelapangan mengamati, menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup di masyarakat untuk mencapai keadilan bagi masyarakat.
2.      Kebiasaan atau adat bangsa Indonesia dapat disebut sebagai bhineka tunggal ika. Demikian pembangunan hukum nasional untuk menciptakan hukum positif seharusnya berakar pada nilai-nilai luhur yang hidup di bumi Indonesia. Dimana hukum adat sebagai cerminan nilai- nilai luhur itu sangat relevan sebagai landasan pokok sumber dan bahan hukum nasional yang akan datang dan menjadi modal utama dalam proses modernisasi hukum. Agar proposal yang dibuat ini juga dapat di jadikan buku referensi pembaca tentang hukum adat yang memang relevan dengan kenyataan yang ada dalam masyarakat untuk pembuatan proposal selanjutnya yang jauh lebih baik.



DAFTAR GAMBAR


 Kunjungan ke DPRD Provinsi Bali
Suasana didalam bus
Suasana Bedugul

Foto bersama didepan Pura

Pura Desa adat Penglipuran Kabupaten Bangli
Rumah-rumah di desa adat Penglipuran



DAFTAR LAMPIRAN

UU No.6 tahun 2014
Pasal 96
Kabupaten/Kota  melakukan  penataan  kesatuan masyarakat  hukum  adat  dan  ditetapkan  menjadi  Desa Adat.
Pasal 97
(1)    Penetapan Desa Adat  sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 memenuhi syarat:
 a.kesatuan  masyarakat  hukum  adat  beserta  hak tradisionalnya  secara  nyata  masih  hidup,  baik yang bersifat  teritorial,  genealogis, maupun  yang bersifat fungsional;
b. kesatuan  masyarakat  hukum  adat  beserta  hak tradisionalnya  dipandang  sesuai  dengan perkembangan masyarakat; dan
c.kesatuan  masyarakat  hukum  adat  beserta  hak tradisionalnya  sesuai  dengan  prinsip  Negara Kesatuan Republik Indonesia.
(2)    Kesatuan  masyarakat  hukum  adat  beserta  hak tradisionalnya  yang  masih  hidup  sebagaimana dimaksud  pada  ayat  (1)  huruf  a  harus  memiliki wilayah  dan  paling  kurang  memenuhi  salah  satu atau gabungan unsur adanya:
a. masyarakat  yang  warganya  memiliki  perasaan bersama dalam kelompok;
b. pranata pemerintahan adat;
c. harta kekayaan dan/atau benda adat; dan/atau
d. perangkat norma hukum adat.
(3) Kesatuan  masyarakat  hukum  adat  beserta  hak tradisionalnya  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1) huruf  b  dipandang  sesuai  dengan  perkembangan masyarakat apabila:
 a.       keberadaannya telah diakui berdasarkan undang-undang yang berlaku sebagai  pencerminan perkembangan  nilai  yang  dianggap  ideal  dalam masyarakat  dewasa  ini,  baik  undang-undang yang bersifat umum maupun bersifat sektoral; dan
b.      substansi  hak  tradisional  tersebut  diakui  dan dihormati oleh warga kesatuan masyarakat  yang bersangkutan dan masyarakat yang lebih luas serta tidak bertentangan dengan hak  asasi manusia.
(4)    Suatu kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sebagaimana dimaksud  pada ayat (1) huruf c sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, apabila  kesatuan  masyarakat hukum adat tersebut tidak mengganggu keberadaan Negara Kesatuan Republik  lndonesia sebagai sebuah kesatuan politik dan kesatuan hukum yang: a.       tidak mengancam kedaulatan dan integritas Negara Kesatuan Republik lndonesia; dan b.      substansi  norma  hukum  adatnya  sesuai  dan tidak  bertentangan  dengan  ketentuan  peraturan perundang-undangan.
Penjelasan
Ketentuan  ini  sesuai  dengan  Putusan  Mahkamah  Konstitusi, yaitu: a.         Putusan  Nomor  010/PUU-l/2003  perihal  Pengujian  Undang-Undang  Nomor  11  Tahun  2003  tentang  Perubahan  Atas Undang-Undang Nomor 53 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten  Pelalawan,  Kabupaten  Rokan  Hulu,  Kabupaten Rokan Hilir, Kabupaten Siak, Kabupaten Karimun, Kabupaten Natuna, Kabupaten Kuantan Singingi, dan Kota Batam; b.         Putusan  Nomor  31/PUU-V/2007  perihal  Pengujian  Undang-Undang  Nomor  31  Tahun  2007  tentang  Pembentukan  Kota Tual Di Provinsi Maluku; c.         Putusan  Nomor  6/PUU-Vl/2008  perihal  Pengujian  Undang-Undang  Nomor  51  Tahun  1999  tentang  Pembentukan Kabupaten  Buol,  Kabupaten  Morowali,  dan  KabupatenBanggai Kepulauan; dan  d.         Putusan Nomor  35/PUU–X/2012  tentang  Pengujian Undang-Undang  Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.  
Pasal 98
(1)           Desa  Adat  ditetapkan  dengan  Peraturan  Daerah Kabupaten/Kota.
(2)           Pembentukan  Desa  Adat  setelah  penetapan  Desa Adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan  memperhatikan  faktor  penyelenggaraan Pemerintahan  Desa,  pelaksanaan  Pembangunan Desa,  pembinaan  kemasyarakatan  Desa,  serta pemberdayaan  masyarakat  Desa, dan  sarana prasarana pendukung.
Pasal 99
1)     Penggabungan  Desa  Adat  dapat  dilakukan  atas prakarsa dan kesepakatan antar-Desa Adat. (2)    Pemerintah  Daerah  Kabupaten/Kota  memfasilitasi pelaksanaan  penggabungan Desa Adat  sebagaimana dimaksud pada
Pasal 100
(1)    Status  Desa  dapat  diubah  menjadi  Desa  Adat, kelurahan  dapat  diubah  menjadi  Desa  Adat,  Desa Adat  dapat  diubah  menjadi  Desa,  dan  Desa  Adat dapat  diubah  menjadi  kelurahan  berdasarkan prakarsa  masyarakat  yang  bersangkutan  melalui Musyawarah  Desa  dan  disetujui  oleh  Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. (2)    Dalam  hal  Desa  diubah  menjadi  Desa  Adat, kekayaan  Desa  beralih  status  menjadi  kekayaan Desa  Adat,  dalam  hal  kelurahan  berubah  menjadi Desa  Adat,  kekayaan  kelurahan  beralih  status menjadi  kekayaan Desa  Adat,  dalam  hal Desa  Adat berubah menjadi Desa,  kekayaan Desa Adat  beralih status menjadi kekayaan Desa, dan dalam hal Desa Adat  berubah  menjadi  kelurahan,  kekayaan  Desa Adat  beralih  status  menjadi  kekayaan  Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.
Ayat (1) Perubahan  status  Desa  Adat  menjadi  kelurahan  harus melalui  Desa,  sebaliknya  perubahan  status  kelurahan  menjadi Desa Adat harus melalui Desa. Ayat (2) Cukup jelas.


DAFTAR PUSTAKA


1.      http://triwantoselalu.blogspot.co.id/2009/05/desa-adat-panglipuran.html?m=1
Diakses pada Selasa, 24 April 2018 pukul 12.45
Diakses pada Selasa, 24 April 2018 pukul 14.00
Diakses pada Selasa, 24 April 2018 pukul 14.02
Diakses pada Kamis, 26 April 2017 pukul 17.00


Komentar

Postingan Populer