Pelecehan Seksual dan Jerat Hukumnya
Apa yang dimaksud dengan pelecehan
seksual?
Pelecehan seksual adalah segala
tindakan seksual yang tidak diinginkan, permintaan untuk melakukan perbuatan
seksual, tindakan lisan atau fisik atau isyarat yang bersifat seksual, atau
perilaku lain apapun yang bersifat seksual, yang membuat seseorang merasa
tersinggung, dipermalukan dan/atau terintimidasi dimana reaksi seperti itu
adalah masuk akal dalam situasi dan kondisi yang ada, dan tindakan tersebut
mengganggu kerja, dijadikan persyaratan kerja atau menciptakan lingkungan kerja
yang mengintimidasi, bermusuhan atau tidak sopan.
Dengan kata lain pelecehan seksual
adalah
- Penyalahgunaan perilaku seksual,
- Permintaan untuk melakukan perbuatan seksual (undangan untuk melakukan perbuatan seksual, permintaan untuk berkencan).
- Pernyataan lisan atau fisik melakukan atau gerakan menggambarkan perbuatan seksual, (pesan yang menampilkan konten seksual eksplisit dalam bentuk cetak atau bentuk elektronik (SMS, Email, Layar, Poster, CD, dll)
- Tindakan kearah seksual yang tidak diinginkan
1.
penerima telah menyatakan bahwa
perilaku itu tidak diinginkan;
2.
penerima merasa dihina, tersinggung
dan/atau tertekan oleh perbuatan itu; atau
3.
pelaku seharusnya sudah dapat
merasakan bahwa yang menjadi sasarannya (korban) akan tersinggung, merasa
terhina dan/atau tertekan oleh perbuatan itu.
- Perilaku fisik (seperti menyentuh, mencium, menepuk, mencubit, atau kekerasan fisik seperti perkosaan dll)
- Sikap seksual yang merendahkan (seperti melirik atau menatap bagian tubuh seseorang).
Ratna
Batara Munti dalam artikel berjudul “Kekerasan Seksual: Mitos dan Realitas”
menyatakan antara lain di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”)
tidak dikenal istilah pelecehan seksual. KUHP, menurutnya, hanya mengenal
istilah perbuatan cabul, yakni diatur dalam Pasal 289 sampai dengan Pasal
296 KUHP. Mengutip buku “KUHP Serta Komentar-komentarnya” karya R.
Soesilo, Ratna menyatakan bahwa istilah perbuatan cabul dijelaskan sebagai
perbuatan yang melanggar rasa kesusilaan, atau perbuatan lain yang keji, dan
semuanya dalam lingkungan nafsu berahi kelamin. Misalnya cium-ciuman,
meraba-raba anggota kemaluan, meraba-raba buah dada dan sebagainya.
Menurut Ratna, dalam pengertian itu
berarti, segala perbuatan apabila itu telah dianggap melanggar
kesopanan/kesusilaan, dapat dimasukkan sebagai perbuatan cabul. Sementara
itu, istilah pelecehan seksual mengacu pada sexual harrasment yang
diartikan sebagai unwelcome attention (Martin Eskenazi and David gallen,
1992) atau secara hukum didefinisikan sebagai "imposition of unwelcome
sexual demands or creation of sexually offensive environments".
Dengan demikian, unsur penting dari
pelecehan seksual adalah adanya ketidakinginan atau penolakan pada apapun
bentuk-bentuk perhatian yang bersifat seksual. Sehingga bisa jadi
perbuatan seperti siulan, kata-kata, komentar yang menurut budaya atau sopan
santun (rasa susila) setempat adalah wajar. Namun, bila itu tidak dikehendaki
oleh si penerima perbuatan tersebut maka perbuatan itu bisa dikategorikan
sebagai pelecehan seksual.
Jadi, pelecehan seksual dapat
dijerat dengan pasal percabulan (Pasal 289 s.d. Pasal 296 KUHP). Dalam
hal terdapat bukti-bukti yang dirasa cukup, Jaksa Penuntut Umum yang akan
mengajukan dakwaannya terhadap pelaku pelecehan seksual di hadapan pengadilan.
Bagaimana cara melaporkan pelecehan
seksual ?
Pembuktian
dalam hukum pidana adalah berdasarkan Pasal 184 UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
(“KUHAP”), menggunakan lima macam alat bukti, yaitu:
1)
keterangan saksi
2)
keterangan ahli
3)
surat
4)
petunjuk
5)
keterangan terdakwa.
Sehingga, dalam hal terjadi
pelecehan seksual, bukti-bukti tersebut di atas dapat digunakan sebagai alat
bukti. Untuk kasus terkait percabulan atau perkosaan, biasanya menggunakan
salah satu alat buktinya berupa Visum et repertum. Menurut “Kamus
Hukum” oleh JCT Simorangkir, Rudy T Erwin dan JT Prasetyo, visum
et repertum adalah surat keterangan/laporan dari seorang ahli mengenai
hasil pemeriksaannya terhadap sesuatu, misalnya terhadap mayat dan lain-lain
dan ini dipergunakan untuk pembuktian di pengadilan.
Meninjau pada definisi di atas, maka
visum et repertum dapat digunakan sebagai alat bukti surat, sebagaimana
diatur dalam Pasal 187 huruf c KUHAP:
“Surat keterangan dari seorang ahli
yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu
keadaan yang diminta secara resmi daripadanya.”
Penggunaan Visum et repertum sebagai
alat bukti, diatur juga dalam Pasal 133 ayat (1) KUHAP:
“Dalam hal penyidik untuk
kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun
mati yang diduga karena perstiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang
mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau
dokter dan atau ahli lainnya.”
Apabila visum memang tidak
menunjukkan adanya tanda kekerasan, maka sebaiknya dicari alat bukti lain yang
bisa membuktikan tindak pidana tersebut. Pada akhirnya, Hakim yang akan memutus
apakah terdakwa bersalah atau tidak berdasarkan pembuktian di pengadilan.
Dengan
pertimbangan bahwa kekerasan seksual terhadap anak semakin meningkat secara
signifikan yang mengancam dan membahayakan jiwa anak, merusak kehidupan pribadi
dan tumbuh kembang anak, serta mengganggu rasa kenyamanan, ketenteraman,
keamanan, dan ketertiban masyarakat, pemerintah memandang sanksi pidana yang
dijatuhkan bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak belum memberikan efek
jera dan belum mampu mencegah secara komprehensif terjadinya kekerasan seksual
terhadap anak.
Pemerintah
memandang perlu segera mengubah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun
2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak.
Atas
dasar pertimbangan itu, Presiden Joko Widodo pada 26 Mei 2016 telah
menandatangani Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor
1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak.
Perubahan
yang dilakukan dalam Perppu ini adalah pasal 81 Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2002, sehingga berbunyi:
- Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D (setiap orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan memaksa Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah);
- Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula bagi setiap Orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain;
- Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang tua, wali, orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga, pengasuh anak, pendidik, tenaga kependidikan, aparat yang menangani perlindungan anak, atau dilakukan oleh lebih dari satu orang secara bersama-sama, pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1);
- Selain terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penambahan 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana juga dikenakan kepada pelaku yang pernah dipidana karena melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D;
- Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D menimbulkan korban lebih dari 1 (satu) orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia, pelaku dipidana mati, seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 10 (sepuluh) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun;
- Selain dikenai pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), pelaku dapat dikenai pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku;
- Terhadap pelaku sebagaimana dimaksud ayat (4) dan ayat (5) dapat dikenai tindakan berupa kebiri kimia dan pemasangan pendeteksi elektronik;
- Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) diputuskan bersama-sama dengan pidana pokok dengan memuat jangka waktu pelaksanaan tindakan;
- Pidana tambahan dan tindakan dikecualikan bagi pelaku Anak.
Selain
itu, di antara Pasal 81 dan Pasal 82 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 81A
yang berbunyi sebagai berikut:
- Tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (7) (dikenai pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku) dikenakan untuk jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun dan dilaksanakan setelah terpidana menjalani pidana pokok;
- Pelaksanaan tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di bawah pengawasan secara berkala oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum, sosial, dan kesehatan;
- Pelaksanaan kebiri kimia disertai dengan rehabilitasi;
- Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan tindakan dan rehabilitasi diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Selain
itu ketentuan Pasal 82 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
- Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E (setiap orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah);
- Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang tua, wali, orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga, pengasuh anak, pendidik, tenaga kependidikan, aparat yang menangani perlindungan anak, atau dilakukan oleh lebih dari satu orang secara bersama-sama, pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1);
- Selain terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penambahan 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana juga dikenakan kepada pelaku yang pernah dipidana karena melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E;
- Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E menimbulkan korban lebih dari 1 (satu) orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia, pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1);
- Selain dikenai pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4), pelaku dapat dikenai pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku;
- Terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sampai dengan ayat (4) dapat dikenai tindakan berupa rehabilitasi dan pemasangan alat pendeteksi elektronik;
- Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diputuskan bersama-sama dengan pidana pokok dengan memuat jangka waktu pelaksanaan tindakan;
- Pidana tambahan dikecualikan bagi pelaku Anak.
Di
antara Pasal 82 dan Pasal 83, menurut Perppu ini, disisipkan 1 (satu) pasal
yakni Pasal 82A yang berbunyi sebagai berikut:
- Tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (6) (dilaksanakan selama dan/atau setelah terpidana menjalani pidana pokok;
- Pelaksanaan tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di bawah pengawasan secara berkala oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum, sosial, dan kesehatan;
- Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan tindakan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
“Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan,”
bunyi Pasal II Perpu yang diundangkan oleh Menteri Hukum dan HAM Yasonna H.
Laoly pada tanggal 25 Mei 2016 itu. (ES)
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl3746/jerat-hukum-dan-pembuktian-pelecehan-seksual
Komentar
Posting Komentar